Thursday, May 20, 2010

...Dan Selamat Malam

Pukul 23:17. Aku disini. Di samping sebuah pemberhentian bus tempat dimana kita bertemu. Bersandar pada lampu jalan yang membisikkan cahayanya yang berarti satu kata: "Sudahlah." Pasrah. Tenggelam dalam kehancuran dari segalanya. Apa yang bisa kulakukan sekarang? Yang bisa kulakukan hanyalah... sebentar. (menyalakan rokok, lalu menghembuskan asapnya) Ya, membunuh diriku secara perlahan. Kata-kata tak bisa merubah setitik yang keruh dari suatu danau di pegunungan Islandia. Tindakan? "Bukan, bukan jawaban," katanya. Semua hanyalah bayangan yang telah menghilang dari pemiliknya. Semuanya sudah mati. Mati.

Udara terlalu dingin. Aspal yang dipenuhi oleh genangan air. Kacamata yang diselimuti oleh embun. Paru-paru yang mungkin sekarat. Beberapa pria berjalan keluar dari sebuah bar. Mereka tertawa terbahak-bahak sambil memegang botol bir dan melepaskan dasinya, menggantungnya di lengan mereka bersama dengan sebuah jas. Kebahagiaan, mates? Kalian hanya melakukan sesuatu yang tak berarti apa-apa untuk diri kalian sendiri. Tapi setidaknya mereka memiliki kebahagiaan. Sesuatu yang tak kumiliki sekarang. Sesuatu yang telah hilang. Baiklah, bakar batang kedua.

Sebuah kembang api terbang dan meledakkan dirinya di langit malam setelah hujan. Sialan. Sialan. Kota ini adalah baku tembak. Semua melesat dengan riang gembira untuk melukai diriku. Seperti peluru yang melesat di tengah baku tembak. Mengapa meluapkan kekesalan pada kembang api? Kembang api adalah suatu simbol kebahagiaan. Kita pernah memainkan kembang api bersama. Pernahkah kau melihat seseorang menyalakan kembang api dalam rangka merayakan kematian ayahnya? Tidak? Bagus. Kembang api diciptakan untuk seseorang yang telah membentuk sebuah senyuman pada wajahnya sendiri, atau wajah orang lain. Bukan untukku. Baiklah, bakar batang ketiga.

Aku tahu teman kecilku ini bisa membunuhku. Tapi itu bukan urusanmu. Dengar? "Teman." Aku menganggapnya sebagai teman. Bisakah seseorang membuatkan mesin waktu untukku secara instan? Karena aku ingin memperbaiki semua kesalahan yang sebenarnya tak bisa dimaafkan, memang. Secara cepat. Atau kau mempunyai ide yang lebih baik dari melompat dari lantai 30?

Mobil-mobil masih melintasi jalan raya dengan dua lampunya yang terlihat seperti mata seekor monster. Dan aku masih bersandar dengan wajah datar sambil memandangi para kembang api yang tertawa sambil mengacungkan jari tengah kepadaku. Ironis, bukan? Seperti dilempari batu oleh seseorang yang sangat kau...

Love.

Ah, mobil-mobil ini terlalu lambat. Aku menunggu mobil yang cepat, kau mengerti? Mobil yang cepat. Dan besar, sebagai tambahan. Oh, itu dia. Sebuah truk besar. Aku bisa melihatnya dari kejauhan. Maaf, aku harus pergi. Ada sesuatu yang harus kulakukan. Semoga kau membaca surat ini. Aku akan membuang puntung rokok ini. Ini yang terakhir. Aku berhenti. Oh, ya, aku bukan ingin membajak sebuah mobil, jika kau bertanya. Besar dan cepat? sebuah ide yang lebih baik dari melompat dari lantai 30, bukan? Semoga kau membaca surat ini sebelum orang lain mengambilnya. Aku meletakkannya di sini karena aku tahu kau selalu berjalan kaki melewati pemberhentian bus ini. Aku menempelkan foto kita berdua agar mudah kau temukan. Baiklah. Ini akhirnya. I heart you. Sampai jumpa.
...Dan selamat malam.