Sunday, June 21, 2009

Vladimir

Kamar 856, apartemen tua di pinggir kota yang mati ini. Televisi hanya menayangkan film drama yang dibuat pada pertengahan '60-an. Dan aku, dari ruang televisi, memandang temanku di balkon kamar ini yang mungkin sedang menganggap dirinya adalah burung merpati, membentangkan kedua tangannya seakan-akan udara lebih ringan dari dirinya. Aku hanya terdiam melihatnya bersama keindahan lampu neon yang terlihat beberapa puluh meter dari sini. Cukup indah, tapi tidak sepenuhnya terlihat indah. Seperti kupu-kupu yang kehilangan sayap kirinya. Apa yang terjadi padanya?

Maaf, aku lupa menyebutkan namaku. Aku Natalie, wanita kelahiran Inggris, 19 Maret 1982. Dan temanku yang sedang "melebarkan sayapnya" itu, bernama Vladimir dan berasal dari Rusia. 3 hari yang lalu, aku bertemu dengannya di taman kota ketika aku mendengarkan alunan lagu "Boundaries" yang dibawakan oleh Kyte sambil menggambar pohon gugur yang berada tepat di depanku. Selagi aku menyelesaikan gambar pohon tersebut, datanglah seorang lelaki yang bernama Vladimir, duduk di sebelahku. Seperti kawan yang telah lama tidak bertemu, kami membicarakan banyak sekali topik hingga bertukar alamat dan nomor telefon. Bahkan dia menceritakan kenapa ia senang menjahili adik perempuannya. Dari taman, kami pergi ke kafe terdekat untuk menikmati segelas kopi dan sepiring roti panggang lalu kembali membicarakan banyak hal. Entah kenapa aku percaya dengan orang ini. Faktanya, aku baru berkenalan dengannya kurang lebih 30 menit yang lalu.

Kemarin, aku membeli segelas kopi di kafe itu setelah membeli beberapa makanan ringan di supermarket. saat tak sengaja melihat ke jendela kafe itu, aku melihat Vlad sedang berjalan di depan jendela kafe yang panjang. Segera kupanggil dia, tapi aku tak tahu kenapa dia terkejut bagai melihat seseorang menggoreskan telapak tangannya dengan silet. Lalu aku segera mencari meja untuk aku dan Vlad. Bersamaan dengan televisi kafe yang menayangkan berita tentang pembunuhan seorang pria berumur 57 tahun, kami lagi-lagi membicarakan banyak hal hingga hal yang tidak penting sekalipun. Setelah kami menghabiskan minuman kami dan waktu telah berjalan selama 45 menit, kami meninggalkan kafe tersebut dan pulang ke kediaman kami masing-masing.

1 jam yang lalu, dia menghubungiku dan menyuruhku datang ke taman dimana kami berdua bertemu untuk pertama kalinya. Saat aku melangkahkan kaki di tanah taman yang penuh daun gugur itu, aku melihat Vlad duduk di kursi taman sambil menundukkan kepala. Melihatnya seperti itu, aku berjalan lebih cepat menghampiri Vlad. Lalu aku duduk di sebelahnya, dan menanyakan kenapa dia terlihat seperti anak yang baru saja memecahkan vas bunga kesayangan ibunya. aku terus menanyakannya, tetapi dia terus menjawab, "Tidak, aku tak apa-apa. Tenang saja." Karena dia terlihat seperti itu, aku ingin membelikan 2 gelas kopi di kafe dekat taman yang sudah 2 kali kami kunjungi bersama. Aku segera membeli 2 gelas kopi hangat tersebut, tetapi ketika aku kembali, Vlad menghilang entah kemana. Beberapa menit kemudian, ponselku berbunyi. Aku mendapatkan sebuah pesan dari Vlad yang berisi: "Natalie, datanglah ke tempatku sekarang. Kau tahu alamatku, bukan?" Lalu aku segera meninggalkan 2 gelas kopi yang kubelikan di taman, dan pergi ke alamat yang diberikan oleh Vlad. Ketika tiba di tempatnya, aku bertanya dimana kamar Vlad pada orang terdekat dan menuju elevator untuk ke lantai yang terdapat kamar nomor 856, Kamar Vlad. Saat aku mengetuk pintunya, tak ada seorangpun yang menjawab. Saat aku mencoba masuk, ternyata pintunya tidak dikunci dan tidak ditutup dengan rapat. Saat aku memasuki kamar tersebut, kulihat Vlad sedang membentangkan kedua tangannya di balkon kamar tersebut.

Begitulah cerita bagaimana aku bisa berada di ruangan ini. Sekarang, aku hanya terdiam melihat Vlad yang sedang membentangkan tangannya di balkon. Ketika dia mendengar suara pintu yang kututup, dia membalikkan badannya dengan perlahan bagai adegan film dengan efek gerak lambat. Aku segera mendekatinya untuk bertanya, tetapi dia dengan cepat berkata, "Satu langkah lagi dan aku akan terbang dari sini." Aku terkejut dan menghentikan langkahku. Dari tempat dimana aku berada, aku terus menanyakan pertanyaan yang sama: "Apa yang terjadi padamu?" Dia hanya menutup mulutnya. Setelah berkali-kali kupaksa untuk menjawab, akhirnya dia menjawabnya. Dia menjawabnya bersamaan dengan suara sirine beberapa mobil polisi yang baru saja sampai di depan apartemen ini. Jawabannya adalah: "Kau pernah merasakan ibumu dibunuh oleh ayahmu sendiri? Aku tahu kau tidak pernah. Kau bisa menahan amarah karena ibumu dibunuh oleh ayahmu sendiri? Aku tahu kau tidak bisa. Dan apakah kau ingat berita di televisi tentang pembunuhan seorang pria berumur 57 tahun kemarin? Aku tahu kau ingat. Ya, pria itu adalah ayahku. Aku yang membuatnya tampil di televisi saat itu. Dengan kata lain, aku yang membunuhnya. Karena itu aku disini." Dan lagi-lagi aku terkejut. Hanya terkejut.

Aku berusaha menolongnya, membujuknya agar dia tak segera lompat dari balkon itu. Tetapi setiap kali aku mendekat, dia semakin mendekat ke pagar balkon. Aku tak mau membuatnya membunuh dirinya sendiri. Aku hanya bisa menuruti kata-kata yang dia utarakan olehnya. Seperti berusaha menangkap binatang buas, aku berada di antara berani dan takut. Ketika aku melangkah satu kali ke depan, dia berkata, "Baiklah. Tutup matamu selama 10 detik, lalu buka kembali matamu. Ayolah." Aku terdiam sebentar, lalu perlahan-lahan kututup mataku. "Bagus. Bukalah matamu 10 detik lagi." Seperti yang Vlad katakan, aku membuka mataku 10 detik kemudian. Lalu, bagai pesulap yang menghilangkan dirinya dari dalam kotak, Vlad menghilang tanpa jejak. Dan tidak seperti pesulap yang menghilangkan dirinya, Vlad tidak akan kembali lagi.


Ketika Seorang Pembunuh Mengarahkan Pistolnya Tepat ke Depan Wajahmu

"Cklek." Dan kau tak bisa berbuat apa-apa. Kau berada di sebuah ruangan kotor dan duduk dengan tangan terikat di kursi kayu yang tidak terpakai selama 3 tahun. Ini bukan seperti cerita fiktif di film-film, dimana kau akan menemukan pecahan kaca dan segera memotong tali tambang setebal 1cm yang mengikat tanganmu. Kau tak bisa bertindak apa-apa selain menangis, berteriak, bertanya "Kenapa?!" dan berusaha melepas ikatan di tanganmu yang sebenarnya, tak bisa dilepas meskipun kau berusaha sekuat apapun.

Di ruangan terkutuk dimana kau terikat, tak ada sesuatu maupun seseorang yang bisa menolongmu melepas ikatan keras di tanganmu dan membantumu kabur. Hanya ruangan kotor dengan 2 jendela kecil yang berjarak 3 meter belakangmu, sebuah kursi usang yang kau duduki, sebuah lampu meja biliar yang menerangimu dari atas kepalamu, sebuah lemari penuh debu yang berisi botol-botol minuman keras di sebelah kirimu, dan seorang pembunuh yang mengarahkan pistol 9mm miliknya di depanmu. Ingin berteriak minta tolong? Silakan. Takkan ada seorang pun yang akan mendengar teriakanmu kecuali si pembunuh yang hanya menganggapmu sebagai bangkai tikus yang terbaring di jalan sempit.

Apa yang bisa kau lakukan? Yang bisa kau lakukan hanyalah menunggu keputusan yang dibuat oleh si pembunuh dengan "senyum manis"-nya itu. Apakah dia akan mengatakan, "Sudah berdoa? Semoga surga seindah yang kau kira, dan... sayonara." BLAM! sebuah peluru melubangi kepala yang didalamnya hanya berisi gumpalan sampah yang kau namakan otak itu, atau, dia akan mengatakan, "Aku tidak akan membunuhmu. Aku membutuhkanmu. Ikuti aku." dan kau mengikuti si pembunuh demi keselamatan dirimu sendiri yang tidak berharga itu.

Ketika seorang pembunuh mengarahkan pistolnya tepat ke depan wajahmu. Tak ada yang bisa kau lakukan. Itulah keadaanku sekarang. Tak ada yang bisa kulakukan, tak ada apapun yang bisa menolongku. Aku hanya bisa menunggu keputusan yang dibuat oleh si pembunuh yang menentukan hidup dan matiku. Apa yang akan si pembunuh lakukan? Apa yang akan si pembunuh lakukan? Oh, tidak! dia meletakkan jari telunjuknya pada pelatuk pistol brengsek itu. Aku memohon, mengeluarkan berjuta-juta kalimat agar aku tidak dibunuh oleh si pembunuh yang mungkin akan segera mengakhiri hidupku dalam kurun waktu 1 menit lagi. Aku mencoba sekuat tenaga melepas ikatanku, bagaikan mencoba melubangi tembok hanya dengan jari kelingkingku. Dan aku hanya membuat darah keluar dari kedua pergelangan tanganku.


Ketika seorang pembunuh mengarahkan pistolnya tepat ke depan wajahku. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menangis, berteriak, bertanya "Kenapa?!" dan berusaha melepas ikatan di tanganku yang sebenarnya, tak bisa dilepas meskipun aku berusaha sekuat apapun. Aku hanya bisa menunggu keputusan yang dibuat oleh si pembunuh. Dan apakah keputusan si pembunuh? Si pembunuh tersenyum dan mengatakan sebuah kalimat ke telingaku:
"Sudah berdoa? Semoga surga seindah yang kau kira, dan... sayonara."