Monday, August 10, 2009

Semoga Permintaanku Terkabulkan (Part II)

1 Bulan yang lalu, telunjuk kananku patah karena jatuh dari tangga apartemenku. Nenek kamar sebelah melihatnya, segera memanggil taksi dan menemaniku ke rumah sakit. Hingga sekarang, telunjukku masih tertidur nyenyak bersama perban putih. 2 Minggu yang lalu, beberapa berandalan mengancamku dengan pisau lipat untuk mendapatkan semua yang ada di dalam tasku. Bahkan bukan hanya tasku, para manusia sialan itu mengambil semua yang ada di dalam jaket hitamku seperti: dompet, ponsel, dan mp3 player. Aku melawan. Aku ingin menghajar mereka, tetapi jari telunjukku berbisik, "Diam, tenanglah. Aku sedang tidur dengan si perban putih." dan 2 dari mereka menghajarku. 5 hari yang lalu, Darcy (atau Darth Maul), bos di tempat kerja baruku, meneleponku dan mengatakan bahwa aku dipecat karena aku tak bisa dihubungi dan belum mengerjakan lukisan desain sebuah perusahaan besar, yang dikarenakan karena telunjukku patah. Begitu juga dengan hidungku. Kemarin, kehilangan tempat tinggalku (lagi) karena Aku belum membayar sewa apartemen selama 3 bulan. Aku ingin meminta bantuan kepada bos-ku, Darcy. Darth Maul. Tetapi, ia sudah terlanjur mengayunkan lightsaber-nya dan memotong kepalaku. Akhirnya, Aku meninggalkan apartemen hanya dengan membawa beberapa pasang pakaian, novel Neverwhere, beberapa puluh dolar, dan sebungkus Marlboro berisi 9 batang. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, Aku tidur di kursi besi untuk semalam. 3 jam kemudian, Semuanya hilang. Kecuali beberapa puluh dolar, dan sebungkus Marlboro berisi 9 batang. Apa yang terjadi? Annie? Annie-kah dalang dari semua ini? Annie mengutukku?

Hari ini, Aku hanya berputar-putar tanpa arah. Mengelilingi jalanan, memandangi iklan Victoria's Secret, melempari batu ke danau, masuk ke supermarket dan membeli segelas bir, menonton beberapa pertandingan futbol dari luar toko televisi, dan mendatangi pameran lukisan surealis dari jam 8 hingga 11 malam. Dan di dalamnya, Aku terlihat seperti bocah umur 5 tahun yang lepas dari ibunya di taman hiburan. Setelah beberapa puluh meter berjalan dari pintu keluar pameran tersebut, Aku mulai berpikir bahwa hidup ini adalah tumpukan limbah industri yang mengotori sungai jernih. Dan lagi-lagi berjalan tanpa arah seperti manusia tanpa otak yang terus mencari otaknya.

Aku bertanya pada diriku sendiri apa aku akan menemukan sebuah pistol di dalam kotak pos biru ini dan menekan pelatuknya ketika lubang pistol tersebut berada di dalam mulutku, atau melompat ke jalan raya ketika sebuah truk sedang melaju dengan sangat cepat. Yang bisa kulakukan hanyalah menghisap beberapa batang Marlboro hingga habis, dan menyalakan korek api hingga gas di dalamnya juga habis. Atau berjalan ke jembatan layang terdekat, melompat dari jembatan tersebut, dan tidur untuk selamanya. Ya, pilihan tepat, bukan? mari berjalan ke jembatan layang terdekat, melompat dari jembatan tersebut, dan tidur untuk selamanya.

Berjalan di jembatan layang dengan langkah agak cepat sambil melihat terangnya beberapa ledakan kembang api pada sudut 45 derajat jauh di sebelah kananku, mendengarkan suara "Boom"-nya yang bunyinya sekecil 10 poin pada volume radio, dan melihat seorang wanita kusut dengan baju dan rambut hitam kecoklatan berjalan di seberang jalan. Hei, darimana datangnya? Aku tak melihat darimana wanita tersebut muncul. Ah, sudahlah, mungkin Aku hanya tak melihatnya datang. Hidupku akan kuakhiri beberapa menit lagi. Jadi, tak ada salahnya Aku membakar si teman kecil dan menikmati asap hangatnya.

Jembatan ini tinggi sekali ternyata. Karena tidak ada kendaraan yang lewat, Aku berani saja berjalan di tengah jalan raya. Tidak ada kehidupan pada malam ini. Jembatan besar ini hanya ditemani oleh lampu jalan berwarna kuning sepanjang jalan, aspal dingin dan basah karena terkena rintikan air hujan, beberapa bangku besi, serta tong sampah hitam yang penuh dengan botol kaleng bir. Lalu Aku duduk di salah satu bangku besi di tengah jembatan yang terlihat seperti jalan menuju kegelapan. Tak lama setelah Aku duduk, seorang wanita kusut berjalan di seberang jalan. Wanita kusut yang tak kulihat darimana datangnya tadi. Dan wanita itu berdiri dengan tangan memegang pagar jembatan, membelakangiku, menghadap kembang api yang melayang seperti komet ke atas lalu meledak bagai seribu kelelawar kecil yang berterbangan tanpa arah. 30 detik kemudian, wanita itu berbalik menghadapkan tubuhnya ke arahku. Dan ia adalah wanita yang turun dari bus tingkat.

Apakah dia sengaja berputar untuk melihatku? Entahlah. Aku hanya terus menghisap si teman kecil dan sesekali melihat ke arah wanita itu dengan tatapan seorang anak yang ingin melihat wajah ayahnya ketika sedang memarahinya. Apa yang wanita itu lakukan? Wanita itu menunjuk dan memutarkan telunjuk tangan kanannya di telapak tangan kirinya. Ia mengangkat jarinya, dan secarik kertas keluar dari telapak tangannya. Wow, apakah dia seorang penyihir? Apa maksudnya dia memperlihatkan triknya kepadaku? Setelah melihatnya mengeluarkan kertas itu, Aku kembali melihat aspal basah di bawahku, dan bersumpah tidak akan melihat ke arah wanita itu lagi. Tak lama setelah menurunkan kepala, ada yang menyentuh kepalaku. Aku mendongakkan kepalaku ke atas, lalu secarik kertas yang menyentuh kepalaku tadi melesat masuk ke dalam kantong jaketku. Sedikit terkejut, kuambil kertas itu dari kantong jaketku. Kubuka kertas kecil yang terlipat itu, dan ternyata kertas itu bertuliskan "Hello, my name is Annie. Sekarang kau tahu rasanya, bukan?"

Annie? Benarkah dia Annie? Wanita yang kutinggal sementara ke Manhattan? Apa maksudnya "rasanya"? Apa Aku telah melakukan sesuatu yang buruk? Aku tahu Aku telah mengalami sebagian kehidupan yang berbau seperti daging babi busuk, tapi apa benar semua ini karena Annie? Dia mengeluarkan kamera polaroid dari tas kecilnya, meletakkannya pada pagar jembatan yang terdapat beberapa retakan pada pinggirnya. Lalu berdiri di depan kamera tersebut, menyalakan sebatang kembang api, lalu menggerakkannya dengan cepat. Beberapa detik kemudian, si kamera memuntahkan selembar foto. Si wanita mengkibas-kibaskan fotonya, lalu selembar foto itu terbang menuju tanganku. Ya, foto yang indah. Bersuasana gelap diterangi beberapa lampu jalan, wanita itu terlihat berbayang di fotonya, dan tulisan sambung yang terbuat dari cahaya kembang api: "I repeat, my name is Annie." dan dia membalikkan badannya dengan maksud agar Aku mengenalinya. Aku mengenalinya. Dia memang benar-benar Annie. Annie yang berubah dari putih menjadi hitam.

Dia terlihat seperti dunia telah diputar-balikkan. Kejujuran yang berubah menjadi kebohongan. Wajah suram. Lingkaran hitam di sekitar matanya yang terbuat dari eye-shadow dan luapan air mata. Raut wajahnya mungkin tidak sama dengan perasaan berat yang sedang berjongkok di sudut hatinya. Bibirnya tersenyum, tetapi tubuhnya gemetaran. Annie mengayunkan tangannya dengan gerakan melempar tulang pada seekor anjing, dan Aku pingsan seketika. Lalu Aku merasa seperti terbang ke tempat yang jauh. Diterpa angin kencang, dan muncul sekejap di ruangan ini. Kamarku. Aku tak tahu mengapa Aku menjadi Annie. Memakai baju serba putih berkilau bagaikan salju.

Dan itu bukan akhir dari cerita ini.

Thursday, August 6, 2009

?aynranebeS ukiriD apaiS

Inikah yang terjadi? Dunia telah memutar-balikkan dirinya sendiri? Mungkin saja. Dulu, pantulan cermin adalah sesuatu yang pasti. Aku menatap mataku di dalam cermin, dan mataku menatapku kembali. Sekarang, jika aku mencoba menatap cermin yang memantulkan gambaran wajahku dari jarak 5 cm, wajahku berubah mengerikan. Monster. Lalu sebuah kepalan tangan akan meninju mata kiriku dengan kecepatan 50 km/jam. Dan cermin itu akan meneriakkan penjelasan mengapa ia meninju wajahku, dengan bahasa yang sama sekali tak kumengerti. Mungkin bahasa orang idiot sedang mengunyah sereal yang tinggal di dalam dunia cermin. Aku berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Apa yang baru saja terjadi? Pantulan gambar tanganmu meninju mata kirimu? Sungguh hal yang tidak masuk akal! Terkejut, bertanya-tanya, panik, dengan cepat kuhancurkan cermin itu dengan kepalan tanganku. Aku melayangkan kepalan tanganku ke arah cermin itu, pecah, dan pecahannya melayang-layang tanpa arah, beberapa dari pecahannya memeluk kepalan tanganku, lainnya melukai dahiku, dan sisanya berjatuhan ke lantai.

Aku benar-benar tidak mengenal siapa diriku sebenarnya sekarang. Aku keluar kamar, duduk membakar teman kecilku, memegang kepalaku dengan keras menahan kebingungan. Sakit kepala yang luar biasa. Tak bisa melihat wajahku sendiri. Kuangkat kepalaku, mencoba mengenali siapa diriku, tetapi tak ada hasil. Aku merasa seperti bukan siapa-siapa. Bahkan bukan Johnny Marr ataupun James Dean. Siapa diriku sebenarnya?


Aku memutuskan untuk kembali ke kamarku dan sebisanya mengumpulkan pecahan-pecahan yang ada. Persetan dengan jari dan telapak tanganku yang berlumuran darah. Aku harus mengetahui apa Aku akan tetap menjadi monster atau tidak. Aku terus mengumpulkan pecahan yang tersisa di lantai, di telapak tanganku, atau dimanapun yang bisa kudapatkan pecahan kaca yang ada di kamarku. Kulekatkan satu-per-satu pecahan kaca menggunakan perekat. Pecahan yang kecil sekalipun. Terus tanpa henti, menahan rasa sakit. Beberapa saat kemudian, semua pecahan kecil itu berhasil kusatukan. Dengan bentuk cermin yang berantakan, tentunya. Dan banyak bagian yang tak bisa kupasang sesuai ukurannya. Akhirnya Aku bisa melihat wajahku yang sebenarnya. Tidak dalam bentuk monster. Aku melihatnya dengan jelas. Tidak, tidak jelas. Wajahku berantakan bagaikan daun gugur. Tapi Aku tahu kalau gambar yang dipantulkan adalah yang sebenarnya dipantulkan meskipun tidak sempurna. Biar waktu yang mengisi bagian kosongnya.

Thursday, July 30, 2009

Boneka dengan Benang pada Beberapa Bagian Tubuhnya


Bukan. Ini bukan cerita tentang sebuah boneka bernasib malang yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya selama 12 tahun. Ini adalah cerita tentang sedikit kehidupan minus yang mungkin pernah dirasakan oleh seseorang yang bernasib malang. Tertinggal, terbuang, terbunuh, dikendalikan, dikekang seperti kuda atau apalah. Ya, seperti sebuah boneka yang tertancap oleh beberapa helai benang pada beberapa bagian tubuhnya. Kedua tangan, kedua kaki, bahkan kepala. Seperti boneka bertali, puppet, marionette, mainan. Atau kau bisa menamainya Mary Poppins jika kau mau. Mengenaskan. Sungguh mengenaskan.

Banyak orang yang merasa dirinya diikat bagaikan binatang peliharaan dan berjalan sesuai keinginan majikannya. Tidak seperti itu juga, mungkin. Bisa dikatakan mereka dikendalikan secara tidak langsung atau mereka bergerak hanya ketika seseorang menginginkan mereka bergerak. Seperti mobil mainan dengan remote control atau robot yang hanya berjalan jika kau menekan tombol yang terdapat pada punggungnya. Dan ketika kau mencoba untuk melepas dirimu, kegagalan menggigit telingamu, dan kau mengguncangkan tubuhmu untuk melepas kegagalan itu. Beberapa saat kemudian, kegagalan itu terlepas. Dan selamat, kau sama sekali tidak menyadari bahwa kakimu telah menginjak ranjau darat. Sesuatu yang buruk (pasti) menimpamu. Seperti angin yang meniupkan udara kesepian, Bipolar Disorder, atau setetes air mata yang merangkak keluar dari rongga matamu tanpa sebab. Hal itu terjadi karena sebenarnya kau membutuhkan si pengendali untuk membuat dirimu bergerak. Untuk merasa lebih bebas, gembira seperti seorang penjagal yang baru saja keluar dari penjara dan bertemu kembali dengan keluarganya.

Kau membutuhkan si pengendali, kau membutuhkan si pengendali. Karena hanya orang itu yang bisa membuatmu merasa seperti seorang pengemis yang tiba-tiba mendapat $100. Kau merasa semua kebutuhanmu di dunia ini sudah terpenuhi, dan, ya, kebutuhanmu pasti akan hilang seiring dengan berjalannya waktu yang membunuhmu dengan cara yang menyenangkan. Lalu kau kembali merasa seperti boneka bertali yang dibuang oleh pengendalinya sesuka hatinya, dan kau akan mencari pengendalimu hingga ke dalam sumur tua. Apa boleh buat, yang membuatmu menjadi hidup setelah mati hanyalah orang yang mengendalikanmu dengan cara yang hanya diketahui oleh pengendalimu. Dengan benang yang tertancap pada beberapa bagian tubuhmu? Remote control? Ikatan di leher seperti seekor anjing? Entahlah.

Mungkin kau bertanya-tanya apa maksud dari cerita(?) pendek ini. Cerita ini menjelaskan bahwa seseorang bisa saja dikendalikan oleh seseorang yang lain bagaikan sebuah boneka dengan benang pada tangan, kaki, maupun kepalanya. Benang. Dengan kata lain, kau tak menginginkannya, tetapi harus menerima apapun resikonya. Kau akan digerakkan sesuai skenario yang diinginkan oleh si sutradara. Apakah kau akan mendapat peran diinjak? Diarahkan menuju taman dengan bunga-bunga kecil yang berterbangan? Terima saja. Karena cuma itu yang bisa membuatmu hidup. Dengan kata lain, kau membutuhkannya.

Sekarang kau akan bertanya-tanya mengapa Aku menulis ratusan kata sampah ini. Tidak penting, mungkin. Tidak penting. "Hanya sekedar luapan kotoran imajiner yang keluar dari otak kotormu," katamu. Tapi beberapa menit kemudian, kau akan sadar bahwa kau pernah mengalami hal seperti di atas. Mungkin sudah berkali-kali. Dikendalikan secara tidak langsung bagaikan boneka dengan benang. Kau menundukkan kepalamu, jari telunjukmu menghapus sedikit tetesan air mata di mata kiri, ibu jarimu menghapus sedikit tetesan air mata di mata kananmu. Lalu kau bertanya, "Apa kau pernah mengalaminya? Merasa seperti boneka dengan benang pada beberapa bagian tubuhnya?" dan Aku akan menjawab, "Ya." Aku tersenyum. Mengapa? Karena Aku tahu si pengendali tak bermaksud mengendalikanku. Sama sekali tidak. Ia menyayangiku lebih dari seorang nenek yang menyayangi cucu pertamanya. Ia mempunyai 0% niat untuk menjadikanku boneka dan memainkanku sesuka hatinya. Jadi, tetaplah tersenyum seperti saat kekasihmu mencium pipimu.

Monday, July 6, 2009

Johnny dan Molly

Pada suatu hari di pertengahan kota Manchester, terdapat seorang penjaga kasir mini market di sebuah stasiun kereta bawah tanah yang berumur 26 tahun bernama Johnny. Dan, ya, dia tinggal bersama kakak perempuannya tepat 100 meter sebelah timur stadion Old Trafford. Kedua orangtuanya? telah meninggal dalam kecelakaan mobil 3 tahun lalu. Tentu saja Johnny kesepian. dan dia selalu merenungkan kalimat yang telah diutarakan ibunya sebelum beliau meninggal: "Johnny, kau sudah 23 tahun hidup di dunia penuh kebohongan ini. Apa kau tidak ingin mencari pendamping hidup? Kau membutuhkannya. Carilah yang paling tepat untuk dirimu sendiri. Ibu pasti akan bahagia jika melihatmu bahagia bersama seseorang yang bisa membahagiakanmu." Kalimat itu selalu melintas di kepala Johnny karena Johnny sangat ingin membuat ibunya bahagia. Dengan membuat dirinya bahagia. Johnny selalu berharap bertemu seseorang tepat untuknya. Dia menunggunya, mencarinya hingga ke sudut-sudut yang sukar dicapai sekalipun. Hasilnya? Nihil. Oh, Johnny. Hingga pada saat Johnny bersama kakak perempuannya.

Karen : Hei, apa yang terjadi pada dirimu? kehilangan coklat batangan terakhirmu?
Johnny : Tentu saja bukan.
Karen : Lalu?
Johnny : Kosong.
Karen : Oh. Wanita?
Johnny : Tepat sekali.
Karen : Kalau begitu, kenapa kau hanya memainkan gitarmu di sini? Keluarlah, cari seseorang.
Johnny : Kau bercanda? Ini tak semudah membunyikan jari tengahmu.
Karen : Akan menjadi semudah itu jika kau mencarinya daripada memainkan gitar seperti idiot di sini. Ingat kata ibu.
Johnny : Oke, oke.

Tapi Johnny tak tahu kemana ia harus pergi. Berputar-putar pasrah bagaikan gasing yang akan berhenti, dan mengakhiri pencariannya di stasiun kereta bawah tanah tempatnya bekerja, lalu Johnny duduk di kursi besi sambil meminum minuman soda kaleng. Dan tiba-tiba seorang lelaki pirang bermata biru bernama Cupid menghampirinya.

Cupid : Sore, kawan. boleh Aku duduk di sini?
Johnny : Oh, silakan. Duduklah.
Cupid : Hei, kenapa kau terlihat seperti kehilangan coklat batangan terakhirmu?
Johnny : Haha, ucapanmu itu terdengar seperti kakak perempuanku.
Cupid : Benarkah? Haha. Apa ada sesuatu yang buruk?
Johnny : Ya, Aku ingin membahagiakan diriku dan juga ibuku. Aku kesulitan mencari wanita. Pacar.
Cupid : Wow, haha. Serahkan saja padaku. Oh, perkenalkan, namaku Cupid.
Johnny : Cupid? Seperti dalam dongeng saja. Aku Johnny.
Cupid : Haha, banyak yang bilang begitu. Salam kenal.
Johnny : Apa kau benar-benar bisa meluncurkan anak panah yang bisa membuat orang jatuh cinta?
Cupid : Tentu tidak, tapi memang pekerjaanku adalah "meluncurkan anak panah yang bisa membuat orang jatuh cinta."
Johnny : Haha, apa maksudmu?
Cupid : Arahkan kepalamu ke arah jam 9.
Johnny : Apa?
Cupid : Coba saja.
Johnny : (terdiam, terkejut kagum) Kawan, kau ini benar-benar seperti Cupid! Eh?

Cupid menghilang tanpa jejak. Johnny terkejut, melihat ke kiri dan ke kanan mencari pria pirang tersebut. Dan ia percaya bahwa seseorang yang bernama Cupid tadi adalah benar-benar Cupid. Mungkin kalian memikirkan apa yang membuat Johnny terdiam, terkejut kagum. Ya, seorang wanita. Wanita dengan rambut merah, memakai sweater hitam, sepintas mirip dengan Milla Jovovich. Dan, ya, Johnny jatuh cinta pada pandangan pertama di stasiun kereta bawah tanah.
Kemudian, wanita itu tak sengaja menjatuhkan dompetnya. Melihat hal itu, Johnny langsung beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil dompet itu dan mengembalikan ke wanita tersebut.

Johnny : Hei, ini, kau menjatuhkan dompetmu.
Wanita : Maaf? Oh, terima kasih banyak kau mengembalikannya padaku.
Johnny : Haha, dengan senang hati.
Wanita : Sebagai tanda terima kasih, bagaimana jika kutraktir minum?
Johnny : Mmm, Aku...
Wanita : Haha, ayolah, tak perlu malu.
Johnny : Haha, baiklah.

"Terima kasih, Cupid." adalah kalimat yang terus diucapkan dalam hati Johnny. Lalu wanita itu membeli 2 gelas kopi susu untuk Johnny dan wanita itu sendiri.

Wanita : Hai, ini. (sambil memberikan segelas kopi susu)
Johnny : Oh, terima kasih banyak, ya.
Wanita : Sama-sama, teman. Hei, kau belum memberi tahu namamu.
Johnny : Haha, Aku lupa. Namaku Johnny.
Wanita : Wow, nama yang bagus.
Johnny : Terima kasih, haha. Hei, bagaimana denganmu? Siapa namamu?
Wanita : Oh, ya. Molly. Namaku Molly.

Molly. Nama itu menjadi nama yang selalu melayang di kepala Johnny bagai kupu-kupu yang berterbangan pada sore hari. Sejak ia bertemu dengan wanita rambut merah itu, yang dia lakukan sehari-hari hanyalah membayangkan ia pergi bersama Molly untuk menonton kembang api pada tahun baru, dan Johnny juga sangat ingin memberi sesuatu yang sangat disukai Molly. Hampir setiap akhir pekan mereka pergi ke tempat yang mereka inginkan. Dari menonton film di bioskop hingga pergi makan malam. Lalu pada minggu ke-3 pada bulan Januari, mereka berdua pergi ke sebuah kafe kecil di tengah kota Manchester.

Johnny : Haha, bagaimana bisa terjadi seperti itu?
Molly : Ya, Kau tahu keahlianku memasak yang membuat roti panggang itu hangus, haha.
Johnny : Hahahaha. Hei, apa kau ada sesuatu yang sangat kau sukai?
Molly : Maksudmu?
Johnny : Ya... apapun yang sangat kau sukai. Sepertiku, Aku sangat menyukai jam tangan yang kupakai ini.
Molly : Apa, ya? Oh. Aku sangat menyukai Mickey Mouse. Suka sekali.
Johnny : Haha, si tikus itu, bukan? Dia memang lucu sekali.
Molly : Haha, memang. Pada awalnya Aku hanya menemani adikku menontonnya, tapi sekarang Aku menyukainya.
Johnny : Dan kau kembali menjadi anak kecil berumur 8 tahun.
Molly : Mungkin saja, karena Aku sedang menginginkan boneka Mickey sekarang.
Johnny : Benarkah? Bagaimana jika aku memberikan boneka Mickey untukmu?
Molly : Wow, terima kasih. Aku akan senang sekali, tapi jika itu menyusahkanmu, tidak usah pun tak apa-apa.
Johnny : Tidak, tidak, Aku akan dengan senang hati memberimu boneka Mickey, Molly.
Molly : Mmm... kalau begitu, keputusan ada di tanganmu. Tapi Aku pasti akan senang. Sangat senang.
Johnny : Baiklah, tak lama lagi, kau akan bangun dengan memeluk boneka Mickey di tanganmu.
Molly : Ya, kuharap itu akan terjadi, haha. Johnny, Aku sudah harus kembali ke rumah sekarang. Kau keberatan?
Johnny : Oh, tentu tidak. Kalau begitu, Aku akan mengantarmu pulang, Oke?
Molly : Haha, terima kasih, Johnny.

Dan Johnny segera mengantarkan Molly hingga ke tempat tinggalnya. Sejak pembicaraan dengan Molly tersebut, Johnny sangat ingin sekali memberikan boneka Mickey untuknya. Keesokan harinya, ia mengelilingi sebagian kota Manchester dengan sepeda untuk mencari toko yang menjual sebuah boneka Mickey Mouse. Setelah berkeliling selama 2 jam hanya dengan sebuah sepeda, akhirnya Johnny menemukan sebuah toko mainan yang menjual boneka Mickey, dan akan membeli boneka tersebut.

Johnny : Bung, Aku ingin membeli boneka Mickey ini. Berapa harganya?
Penjual : Ini? 24 pound sterling.
Johnny : Apa? 24? Oh, Tuhan, Aku tidak memiliki uang sebanyak itu. Aku hanya membawa satu-satunya 15-ku.
Penjual : Hmm, sayang sekali, kawan.
Johnny : Sial. Hei, bagaimana jika aku kembali besok dengan 24 pounds?
Penjual : Oke, oke. Kutunggu kedatanganmu besok. Tapi maaf bila sudah dibeli orang lain.
Johnny : Oke. Terima kasih banyak.

Johnny segera pulang dengan sepedanya, mengambil gitarnya, lalu pergi ke depan tangga stasiun kereta bawah tanah, membawakan beberapa lagu, dan berharap seseorang meletakkan uang di atas sapu tangan yang dia letakkan tepat 10cm di depan kakinya. Setelah 1 jam membawakan beberapa lagu The Cure dan Bloc Party, Johnny mendapatkan uang sebanyak 8 pounds. Cukup banyak, tetapi itu belum cukup untuk membeli boneka Mickey yang Johnny inginkan. Akhirnya, Johnny memutuskan untuk pulang dan melanjutkan petualangannya besok.
Keesokan harinya, Johnny kembali pergi dengan sepeda dan gitarnya ke stasiun bawah tanah untuk mendapatkan beberapa poundsterling agar ia bisa membelikan boneka Mickey untuk Molly. Dalam waktu 1/2 jam, Johnny mendapatkan 3 pound sterling. Tentu saja Johnny gembira. Dengan 26 pound sterling miliknya, Johnny segera pergi ke "Disneyland" tempat di mana Mickey itu berada.

Johnny : Apa maksudmu sudah terjual?!
Penjual : Maaf, bung. 2 jam lalu seorang ibu membeli boneka itu untuk anaknya.
Johnny : Kau... Oke, apa boleh buat. Apa ada toko lain di sekitar sini?
Penjual : Hmm, kurasa toko ini satu-satunya di daerah ini.
Johnny : Baiklah, terima kasih banyak.
Penjual : Sama-sama, kawan. Semoga harimu indah.

"Akan jauh lebih indah jika kupatahkan hidungmu." kata Johnny di dalam hati. Johnny sangat kecewa karena mungkin di kota ini tak ada lagi toko yang menjual boneka Mickey. Apa boleh buat, Johnny terpaksa pulang dengan wajah pucat dan tangan kosong. "Apa yang harus kulakukan? Besok Aku akan bertemu dengannya, tetapi Mickey Mouse tak ada di tanganku."
Keesokan harinya, pada pukul 7 pagi, Johnny menghubungi ponsel milik Molly.

Johnny : Molly, selamat pagi.
Molly : Hai, Johnny, selamat pagi! Ada apa?
Johnny : Mmm kau pagi ini ada rencana?
Molly : Ti...dak. Ya, Aku tidak kemana-mana hari ini. Mengapa, John?
Johnny : Kalau kuajak bertemu, bagaimana? Kau mau?
Molly : Haha, tentu saja, Johnny. Dimana kau ingin bertemu denganku?
Johnny : Bagaimana jika di kafe tempat kita pergi beberapa hari lalu?
Molly : Wow, pilihan bagus. Aku akan kesana nanti jam 10. Oke?
Johnny : Jam 10? Oke, oke. Sampai bertemu, Molly.
Molly : Oke, Sampai nanti, John.

10.06. Molly sudah tiba lebih dahulu dan menunggu Johnny. Setelah beberapa menit menunggu. Molly melihat Johnny berjalan cepat dengan membawa tas coklat miliknya. Johnny terlihat pucat dan berantakan. Seperti orang yang baru saja beranjak dari tempat tidurnya.

Johnny : Maaf, aku terlambat.
Molly : Apa yang terjadi, John? Kau terlihat tidak sehat.
Johnny : Tidak, tidak apa-apa. Hanya tidak bisa tidur semalam.
Molly : Malang sekali. Mengapa kau tidak istirahat saja?
Johnny : 'Kan Aku ingin bertemu denganmu.
Molly : Oh, ya ampun, haha. Tapi... sebenarnya apa yang membuatmu ingin bertemu denganku?
Johnny : Ini.

Bagai seorang anak berbaju kumal yang memberi cincin perak kepada seorang permaisuri, Johnny memberikan sebuah Mickey Mouse. Mickey Mouse buatan tangannya sendiri. Gabungan beberapa bantal hitam dengan kapuk sedikit keluar, mata yang terbuat dari kancing baju, hidung karet yang terlihat seperti karet alat pengukur tekanan darah di rumah sakit, sarung tangan putih yang terbuat dari kain selimut, celana merah yang terlihat seperti taplak meja restoran, dan sepatu kuning yang terbuat dari bahan handuk. Molly terkejut, tersenyum lebar.

Johnny : Ambillah. Mickey Mouse. Untukmu. Mickey-mu, Molly.
Molly : Johnny... terima kasih banyak. Boneka ini buatanmu?
Johnny : Ya, tepat sekali. Kau suka?
Molly : Suka sekali. Kau ingin bertemu denganku untuk memberiku ini?
Johnny : Mmm... sebenarnya tidak juga.
Molly : Lalu?
Johnny : Untuk memberitahu bahwa ada Romeo & Juliet...
Molly : Romeo & Juliet?
Johnny : Superman dan Lois, Mickey dan Minnie, dan...
Molly : Aku tahu maksudmu. Dan aku pun merasakan hal yang sama, haha.
Johnny : Hah? Apa?
Molly : Joel dan Clementine, Spiderman dan Mary-Jane, dan...

Seorang pemain gitar jalanan dengan jaket, sarung tangan, dan senyumnya, memasuki kafe dan membawakan lagu "7/4 Shoreline", penjaga kafe membuatkan kopi sambil tersenyum mendengar alunan lagunya, seorang kakek tersenyum menerima 2 gelas kopi buatan si penjaga kafe, seorang wanita tua tersenyum melihat suaminya membawakan 2 gelas kopi, dan Johnny tersenyum, bukan karena melihat seorang wanita tua meminum segelas kopi, tetapi karena Molly mengatakan, yang juga akan Johnny katakan:
"Johnny dan Molly."

Semoga Permintaanku Terkabulkan (Part I)

Aku berjalan tanpa tujuan. Ditemani sedikit rintikan air hujan, uap yang keluar dari mulutku, dan cahaya kuning yang bersinar dari lampu jalan, Aku berdiri di sebelah kotak pos berwarna biru. Sambil menghisap Marlboro, Aku melihat sebuah bus tingkat berhenti dan menurunkan seorang wanita kusut dengan baju dan rambut hitam kecoklatan di belakangku. Tangan, kaki, dan kepalaku berteriak, "Masuklah ke dalam kendaraan besar itu dan pulanglah, tolol!" tetapi mulutku bersikeras untuk satu-batang-lagi-dan-silakan-pergi. Lagipula mau kemana? Aku tak memiliki tempat tinggal. Apa boleh buat, Perokok Berat. Tubuhmu ingin merusakmu. Selamat menikmati. Menikmati kematian yang diciptakan oleh Tubuhmu. Dirimu.

Hidup. Bagaikan tempat untuk seseorang memberi satu tetes dari satu botol bergambar tengkorak ke dalam teh hangat milikmu. Kesialan tersenyum seperti gadis kecil dengan lolipop, nasib buruk dengan senang hati menjemput. Dan percaya atau tidak, Aku adalah lelaki bertubuh 30 tahun dengan otak 5 tahun. Aku percaya bahwa kisah Alice in Wonderland adalah nyata, dan Peri Gigi akan datang bila Aku menyembunyikan gigi patahku ke bawah bantal tidurku. Beberapa orang percaya bahwa permintaan seseorang akan terkabul jika mempertaruhkan nyawanya untuk orang lain. Untuk hal itu, itu adalah soal lain. Aku sama sekali tak mempercayainya. 5 tahun lalu, Aku menolong seorang wanita dengan rambut pirang yang sedang dikelilingi oleh 3 lelaki kotor berjaket hitam. 3 lelaki tersebut memukuli wanita itu tanpa ampun dan menarik-narik tas milik si wanita. Aku melihatnya, dan segera berlari untuk menolong dan tidak berharap permintaanku akan terkabul jika Aku menolong wanita yang namanya belum kuketahui itu. Ketika Aku berlari menghampirinya, wanita itu berteriak, seperti meneriakkan sebuah kata dari bahasa Islandia, dan 1 dari 3 lelaki kotor itu terhempas jauh dan menghantam lampu jalan. Aku sedikit terkejut dan berpikir mengapa lelaki tersebut terhempas jauh dan menghantam lampu jalan, tapi Aku tetap berlari dan memukul salah satu lelaki itu, mematahkan hidungnya, dan menendang wajahnya ketika lelaki itu jatuh terkapar tanpa daya. Melihatku memukulinya, si lelaki yang sedang sibuk menarik tas si wanita segera melepas tasnya dan kabur menuju kegelapan. Beberapa menit kemudian, kedua temannya lari ke arah yang berlawanan dari lelaki yang kabur lebih dulu. Wanita itu berterima kasih padaku dan Akupun mengantarnya pulang. Oh ya, wanita itu bernama Annie, dan itu merupakan awal perkenalanku dengan Annie.

Annie. Bagaikan lampu yang menyala sementara lampu lainnya redup. Lain dari yang lain. Hanya dia yang bisa dan selalu "menyalakan" diriku ketika diriku "mati" dan menyembuhkan lukaku hanya dengan menghembuskan nafas sejuknya ke arah lukaku. Ya, menghembuskan nafas sejuknya. Memang sedikit ajaib, tapi inilah kenyataannya. Awalnya aku tak percaya, tetapi dia membuktikan bahwa semua itu nyata dengan merubah secarik kertas menjadi kupu-kupu. Annie selalu bilang "Ada sesuatu di dalam dirimu. Tapi kau tak membutuhkannya." Sesuatu. Apa itu? Kekuatan super? Keahlian mengetik dengan 10 jari? Entahlah. Annie hanya tersenyum bila Aku bertanya apa yang ada di dalam diriku.

Beberapa tahun kemudian, Aku harus pindah ke Manhattan karena ayahku menghilang entah kemana. Akhirnya Aku harus bekerja di tempat ayahku bekerja, meninggalkan Annie untuk beberapa tahun, dan pada saat itu, Aku tak tahu akan kembali ke sini atau tidak. Annie tidak setuju denganku meskipun tahu aku harus pergi. "Kau akan baik-baik saja, Annie," kubilang pada saat dia tahu Aku akan pergi. Dari tatapan matanya, sepertinya dia sedih dan mengutukku. Semoga Aku salah. Annie hanya menangis, membelakangiku, dan mengepalkan tangannya dengan keras ketika ia menemaniku ke stasiun kereta ekspres. Aku berharap bisa kembali lagi ke kota ini dan melihat Annie dengan penampilan yang lebih bervariasi dari sekedar kaus dan jaket putih. Setelah 2 tahun menetap di Manhattan, Aku harus pulang ke kota asalku karena tempatku bekerja di Manhattan gulung tikar. Dan kakak tiriku menawarkan pekerjaan kepadaku, dengan syarat kembali ke kota asalku. Karena memang di sana ia dan pekerjaannya berada.

6 bulan yang lalu, Aku kembali dari Manhattan, dan Annie menghilang. tempat tinggal Annie sudah ditinggali oleh pria gemuk yang memakai baju bertuliskan "I Love You, Six Beers" yang sedang mengunduh video porno, dan Aku harus mencari apartemen karena rumahku sekarang sudah digunakan untuk panti asuhan. Lalu entah kenapa, semuanya berubah. Berubah total. Atas menjadi bawah, besar menjadi kecil, putih menjadi hitam.

Sunday, June 21, 2009

Vladimir

Kamar 856, apartemen tua di pinggir kota yang mati ini. Televisi hanya menayangkan film drama yang dibuat pada pertengahan '60-an. Dan aku, dari ruang televisi, memandang temanku di balkon kamar ini yang mungkin sedang menganggap dirinya adalah burung merpati, membentangkan kedua tangannya seakan-akan udara lebih ringan dari dirinya. Aku hanya terdiam melihatnya bersama keindahan lampu neon yang terlihat beberapa puluh meter dari sini. Cukup indah, tapi tidak sepenuhnya terlihat indah. Seperti kupu-kupu yang kehilangan sayap kirinya. Apa yang terjadi padanya?

Maaf, aku lupa menyebutkan namaku. Aku Natalie, wanita kelahiran Inggris, 19 Maret 1982. Dan temanku yang sedang "melebarkan sayapnya" itu, bernama Vladimir dan berasal dari Rusia. 3 hari yang lalu, aku bertemu dengannya di taman kota ketika aku mendengarkan alunan lagu "Boundaries" yang dibawakan oleh Kyte sambil menggambar pohon gugur yang berada tepat di depanku. Selagi aku menyelesaikan gambar pohon tersebut, datanglah seorang lelaki yang bernama Vladimir, duduk di sebelahku. Seperti kawan yang telah lama tidak bertemu, kami membicarakan banyak sekali topik hingga bertukar alamat dan nomor telefon. Bahkan dia menceritakan kenapa ia senang menjahili adik perempuannya. Dari taman, kami pergi ke kafe terdekat untuk menikmati segelas kopi dan sepiring roti panggang lalu kembali membicarakan banyak hal. Entah kenapa aku percaya dengan orang ini. Faktanya, aku baru berkenalan dengannya kurang lebih 30 menit yang lalu.

Kemarin, aku membeli segelas kopi di kafe itu setelah membeli beberapa makanan ringan di supermarket. saat tak sengaja melihat ke jendela kafe itu, aku melihat Vlad sedang berjalan di depan jendela kafe yang panjang. Segera kupanggil dia, tapi aku tak tahu kenapa dia terkejut bagai melihat seseorang menggoreskan telapak tangannya dengan silet. Lalu aku segera mencari meja untuk aku dan Vlad. Bersamaan dengan televisi kafe yang menayangkan berita tentang pembunuhan seorang pria berumur 57 tahun, kami lagi-lagi membicarakan banyak hal hingga hal yang tidak penting sekalipun. Setelah kami menghabiskan minuman kami dan waktu telah berjalan selama 45 menit, kami meninggalkan kafe tersebut dan pulang ke kediaman kami masing-masing.

1 jam yang lalu, dia menghubungiku dan menyuruhku datang ke taman dimana kami berdua bertemu untuk pertama kalinya. Saat aku melangkahkan kaki di tanah taman yang penuh daun gugur itu, aku melihat Vlad duduk di kursi taman sambil menundukkan kepala. Melihatnya seperti itu, aku berjalan lebih cepat menghampiri Vlad. Lalu aku duduk di sebelahnya, dan menanyakan kenapa dia terlihat seperti anak yang baru saja memecahkan vas bunga kesayangan ibunya. aku terus menanyakannya, tetapi dia terus menjawab, "Tidak, aku tak apa-apa. Tenang saja." Karena dia terlihat seperti itu, aku ingin membelikan 2 gelas kopi di kafe dekat taman yang sudah 2 kali kami kunjungi bersama. Aku segera membeli 2 gelas kopi hangat tersebut, tetapi ketika aku kembali, Vlad menghilang entah kemana. Beberapa menit kemudian, ponselku berbunyi. Aku mendapatkan sebuah pesan dari Vlad yang berisi: "Natalie, datanglah ke tempatku sekarang. Kau tahu alamatku, bukan?" Lalu aku segera meninggalkan 2 gelas kopi yang kubelikan di taman, dan pergi ke alamat yang diberikan oleh Vlad. Ketika tiba di tempatnya, aku bertanya dimana kamar Vlad pada orang terdekat dan menuju elevator untuk ke lantai yang terdapat kamar nomor 856, Kamar Vlad. Saat aku mengetuk pintunya, tak ada seorangpun yang menjawab. Saat aku mencoba masuk, ternyata pintunya tidak dikunci dan tidak ditutup dengan rapat. Saat aku memasuki kamar tersebut, kulihat Vlad sedang membentangkan kedua tangannya di balkon kamar tersebut.

Begitulah cerita bagaimana aku bisa berada di ruangan ini. Sekarang, aku hanya terdiam melihat Vlad yang sedang membentangkan tangannya di balkon. Ketika dia mendengar suara pintu yang kututup, dia membalikkan badannya dengan perlahan bagai adegan film dengan efek gerak lambat. Aku segera mendekatinya untuk bertanya, tetapi dia dengan cepat berkata, "Satu langkah lagi dan aku akan terbang dari sini." Aku terkejut dan menghentikan langkahku. Dari tempat dimana aku berada, aku terus menanyakan pertanyaan yang sama: "Apa yang terjadi padamu?" Dia hanya menutup mulutnya. Setelah berkali-kali kupaksa untuk menjawab, akhirnya dia menjawabnya. Dia menjawabnya bersamaan dengan suara sirine beberapa mobil polisi yang baru saja sampai di depan apartemen ini. Jawabannya adalah: "Kau pernah merasakan ibumu dibunuh oleh ayahmu sendiri? Aku tahu kau tidak pernah. Kau bisa menahan amarah karena ibumu dibunuh oleh ayahmu sendiri? Aku tahu kau tidak bisa. Dan apakah kau ingat berita di televisi tentang pembunuhan seorang pria berumur 57 tahun kemarin? Aku tahu kau ingat. Ya, pria itu adalah ayahku. Aku yang membuatnya tampil di televisi saat itu. Dengan kata lain, aku yang membunuhnya. Karena itu aku disini." Dan lagi-lagi aku terkejut. Hanya terkejut.

Aku berusaha menolongnya, membujuknya agar dia tak segera lompat dari balkon itu. Tetapi setiap kali aku mendekat, dia semakin mendekat ke pagar balkon. Aku tak mau membuatnya membunuh dirinya sendiri. Aku hanya bisa menuruti kata-kata yang dia utarakan olehnya. Seperti berusaha menangkap binatang buas, aku berada di antara berani dan takut. Ketika aku melangkah satu kali ke depan, dia berkata, "Baiklah. Tutup matamu selama 10 detik, lalu buka kembali matamu. Ayolah." Aku terdiam sebentar, lalu perlahan-lahan kututup mataku. "Bagus. Bukalah matamu 10 detik lagi." Seperti yang Vlad katakan, aku membuka mataku 10 detik kemudian. Lalu, bagai pesulap yang menghilangkan dirinya dari dalam kotak, Vlad menghilang tanpa jejak. Dan tidak seperti pesulap yang menghilangkan dirinya, Vlad tidak akan kembali lagi.


Ketika Seorang Pembunuh Mengarahkan Pistolnya Tepat ke Depan Wajahmu

"Cklek." Dan kau tak bisa berbuat apa-apa. Kau berada di sebuah ruangan kotor dan duduk dengan tangan terikat di kursi kayu yang tidak terpakai selama 3 tahun. Ini bukan seperti cerita fiktif di film-film, dimana kau akan menemukan pecahan kaca dan segera memotong tali tambang setebal 1cm yang mengikat tanganmu. Kau tak bisa bertindak apa-apa selain menangis, berteriak, bertanya "Kenapa?!" dan berusaha melepas ikatan di tanganmu yang sebenarnya, tak bisa dilepas meskipun kau berusaha sekuat apapun.

Di ruangan terkutuk dimana kau terikat, tak ada sesuatu maupun seseorang yang bisa menolongmu melepas ikatan keras di tanganmu dan membantumu kabur. Hanya ruangan kotor dengan 2 jendela kecil yang berjarak 3 meter belakangmu, sebuah kursi usang yang kau duduki, sebuah lampu meja biliar yang menerangimu dari atas kepalamu, sebuah lemari penuh debu yang berisi botol-botol minuman keras di sebelah kirimu, dan seorang pembunuh yang mengarahkan pistol 9mm miliknya di depanmu. Ingin berteriak minta tolong? Silakan. Takkan ada seorang pun yang akan mendengar teriakanmu kecuali si pembunuh yang hanya menganggapmu sebagai bangkai tikus yang terbaring di jalan sempit.

Apa yang bisa kau lakukan? Yang bisa kau lakukan hanyalah menunggu keputusan yang dibuat oleh si pembunuh dengan "senyum manis"-nya itu. Apakah dia akan mengatakan, "Sudah berdoa? Semoga surga seindah yang kau kira, dan... sayonara." BLAM! sebuah peluru melubangi kepala yang didalamnya hanya berisi gumpalan sampah yang kau namakan otak itu, atau, dia akan mengatakan, "Aku tidak akan membunuhmu. Aku membutuhkanmu. Ikuti aku." dan kau mengikuti si pembunuh demi keselamatan dirimu sendiri yang tidak berharga itu.

Ketika seorang pembunuh mengarahkan pistolnya tepat ke depan wajahmu. Tak ada yang bisa kau lakukan. Itulah keadaanku sekarang. Tak ada yang bisa kulakukan, tak ada apapun yang bisa menolongku. Aku hanya bisa menunggu keputusan yang dibuat oleh si pembunuh yang menentukan hidup dan matiku. Apa yang akan si pembunuh lakukan? Apa yang akan si pembunuh lakukan? Oh, tidak! dia meletakkan jari telunjuknya pada pelatuk pistol brengsek itu. Aku memohon, mengeluarkan berjuta-juta kalimat agar aku tidak dibunuh oleh si pembunuh yang mungkin akan segera mengakhiri hidupku dalam kurun waktu 1 menit lagi. Aku mencoba sekuat tenaga melepas ikatanku, bagaikan mencoba melubangi tembok hanya dengan jari kelingkingku. Dan aku hanya membuat darah keluar dari kedua pergelangan tanganku.


Ketika seorang pembunuh mengarahkan pistolnya tepat ke depan wajahku. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menangis, berteriak, bertanya "Kenapa?!" dan berusaha melepas ikatan di tanganku yang sebenarnya, tak bisa dilepas meskipun aku berusaha sekuat apapun. Aku hanya bisa menunggu keputusan yang dibuat oleh si pembunuh. Dan apakah keputusan si pembunuh? Si pembunuh tersenyum dan mengatakan sebuah kalimat ke telingaku:
"Sudah berdoa? Semoga surga seindah yang kau kira, dan... sayonara."